👩‍👩‍👧‍👦 Penurunan Populasi Dunia: Ancaman Sudah Di Depan Mata

Dunia sedang menghadapi krisis populasi. Mulai dari negara maju hingga negara berkembang — banyak yang mengalami tren penurunan populasi. Sudah siapkah kita?

Baru-baru ini, populasi manusia udah mencapai 8 miliar. 👩👩👦👦

Mungkin kalian bisa ngomong “oh yaudah lah ya”, tapi 8 miliar itu tuh jumlah yang banyaaaaak banget. 🥲

Buat analoginya, kalo 8 miliar manusia ini semua dijejerin ngebentuk satu antrian kayak ngantri sembako, panjangnya itu bakal muterin bumi 56 kali. 🤯

1x aja udah capek ya 🥲

Makanya dengan populasi manusia sebanyak ini, banyak orang tuh memprediksi akan banyak masalah yang perlu kita hadapi. Contohnya:

  • 🌽 Bisakah kita ngasih makan segini banyak orang?
  • 🌆 Akankah kita punya tempat tinggal yang cukup?
  • 🌍 Akankah bumi nggak muat lagi, menimbulkan perang dahsyat yang memperebutkan sumber daya alam terbatas?

Bahkan seorang pemikir terkenal, Thomas Malthus pernah bilang, jika populasi manusia nggak segera dikontrol, maka akan ada kelaparan global melanda di mana-mana dan menghancurkan peradaban. 😨

Apakah selama ini, ternyata Thanos (tokoh antagonis dari film The Avengers) benar? Di mana dia punya misi untuk memusnahkan 50% penduduk galaksi, biar ‘keseimbangan’ kehidupan dapat kembali lagi. 👩👩👦👦

Karena menurut Thanos, dengan galaksi yang kepenuhan, maka akan terjadi peperangan besar untuk memperebutkan sumber daya untuk hidup.

Iyain aja dulu ya si Thanos, mang loncat 😢 daripada dibikin ilang sama dia

Tapi pada akhirnya, sesuai judul pembahasan ini, ternyata tanpa Thanos sekalipun, dunia tanpa disuruh malah berhasil ‘menyeimbangkan’ dirinya sendiri. Populasi dunia trennya bukannya naik, malah justru akan semakin menurun. 😮

Dari salah satu riset, populasi umat manusia diprediksikan memuncak di 9,7 miliar pada tahun 2064, tapi abis itu nurun ke 6,8 miliar di tahun 2100. Gila banget. 😮

Daaan emang faktanya, hari ini aja banyaaaak banget negara di dunia (bahkan Cina! 🇨🇳) udah mulai mengalami krisis penurunan populasi!

Hal gila apa yang sedang terjadi?! Bukannya harusnya semakin ke masa depan, jumlah manusia harusnya makin banyak? Kenapa ini semua kayak nggak masuk akal? 😖

Oleh karena itu, yuk kita bedah krisis penurunan populasi ini. Sesuatu yang mungkin orang jarang tahu dan bakal bikin kaget banyak orang. 😮

Kenapa bisa menurun?

Sebelum kita bahas faktor-faktor penyebabnya, kalian bisa cek grafik ‘mengerikan’ di bawah ini:

Intinya, grafik di atas bilang, bahwa penurunan populasi dunia bener-bener udah di depan mata. Dan masalah ini mungkin sesuatu yang kakek-nenek kita nggak pernah bayangin. 😅

Oke, terus apa penyebabnya?

Bisa disimpulkan, salah satu penyebab kuat penurunan populasi dunia adalah karena kemajuan ekonomi. 🌎💰

Haaaaah bentar bentar, kok jadi begini? Bukannya justru harusnya sebaliknya ya? 😮 Biar ngerti, ayo kita cek grafik di bawah ini:

Coba liat dulu 😅 tapi jangan pusing ya

Intinya, grafik ini bilang semakin majunya ekonomi suatu negara, maka semakin menurunnya juga angka bayi lahir di negara tersebut. 🤯

Di grafik tersebut, ada 5 fase kependudukan yang umumnya dilalui oleh sebuah negara:

  1. 🌽 Pre-industrial: Masa di mana masyarakat umumnya masih bercocok tanam. Di masa ini, tingkat kelahiran tinggi, tapi tingkat kematian penduduk juga tinggi. Kedua hal tersebut akhirnya menyeimbangkan diri satu sama lain. Bikin populasi umumnya nggak naik, tapi nggak turun juga.
  2. 🏭 Industrializing: Masa di mana masyarakat bercocok tanam mulai pindah ke kota (urbanisasi) untuk kerja di pabrik atau industri yang lebih kompleks. Di masa ini, berkat kemajuan layanan kesehatan dan obat (e.g kalo sakit, melahirkan, dll), serta infrastruktur dan teknologi (e.g air bersih, peralatan kerja canggih,dll) tingkat kematian jadi menurun drastis. Orang jadi nggak gampang mati lagi! 👏 Sedangkan di sisi lain, tingkat kelahiran masih tinggi, kayak jaman pre-industrial. Populasi penduduk meningkat drastis!
  3. 🏙️ Mature industrial: Masa di mana masyarakat udah mulai ‘makmur’ secara ekonomi. Di masa ini, (dengan makin bagusnya layanan kesehatan dan teknologi) tingkat kematian menurun 🧓 tapi kemudian tingkat kelahiran mulai ikut terjun bebas. 👶 Kenapa? Akan kita bahas nanti abis ini. 😬
  4. 🌍 Post-industrial: Masa di mana industrialisasi udah ‘selesai’ dan perekonomian berkembang ke industri yang kompleks/berteknologi tinggi. Di masa ini, tingkat kelahiran udah bener-bener melandai dan jumlah populasi penduduk pada dasarnya akan stabil/tetap, atau naik-turun dikit.
  5. ???: Kita belom tahu ini akan jadi masa seperti apa. Tapi prediksinya, di sini lah tingkat kelahiran 👶 akhirnya kalah sama tingkat kematian 🧓. Populasi di negara tersebut akhirnya perlahan menurun. Kita akan bahas fase misterius ini nanti ya. 😬

Apakah grafik ini bisa dibilang sok tahu? 😡 Bisa jadi.

Tapi bukti menunjukkan, negara-negara yang dibilang udah ‘industrial’ kayak Australia 🇦🇺, Italia 🇮🇹, Jepang 🇯🇵, Swiss 🇨🇭 dan AS 🇺🇸; punya tingkat kelahiran yang di bawah tingkat ‘replacement level’. 👶📉 Atau simpelnya, populasi mereka terus menurun tiap tahun.

Sedangkan negara-negara yang masih ‘berkembang’ secara industri kayak Burkina Faso 🇧🇫, Chad 🇹🇩, India 🇮🇳 dan Zambia 🇿🇲; mengalami ledakan penduduk karena tingkat kelahirannnya masih tinggi.

Jadi apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa negara atau sebuah keluarga makin ‘maju’ secara ekonomi, kok makin nggak mau punya anak? 🤨

Nah ini lah dia jawabannya: kemajuan ekonomi, umumnya membuat ‘arti’ punya anak itu jadi berbeda. Maksudnya gimana?

Di masa pre-industrial, tingkat kematian anak itu tinggi. 🪦 Jadi, butuh ngelahirin banyak anak untuk memastikan ada keturunan kita yang selamet. Fokusnya ke jumlah anak, bukan kualitas. 👩‍👩‍👦‍👦

Sedangkan di masa industrial, tingkat kematian anak jadi rendah. Sang orang tua jadi bisa fokus ke kualitas, bukan jumlah anak. 🎖️

Tapi sebenernya, nggak sesederhana tiba-tiba orang berubah pikiran jadi milih ‘kualitas, daripada jumlah’ gitu langsung. Karena ada faktor pendoronganya juga: di negara industrial, biaya membesarkan anak itu tuh jadi lebih mahal juga. 💸

Gimana tuh? Karena mereka umumnya jadi butuh pendidikan yang tinggi 🎓 (sampe kuliah, nggak lagi cuma SD) biar sang anak bisa bertahan hidup dan bersaing di masyarakat yang ‘lebih pintar’.

Belom lagi ngitung biaya hidup sekeluarga yang bisa lebih tinggi secara keseluruhan 📈 karena standar tingkat ‘kemakmuran’-nya juga udah lebih tinggi.

Terus ada faktor lain juga yang mengubah ‘arti’ punya anak jadi beda. Jadi umumnya di negara maju, anggapan punya anak “biar bisa ngurusin orang tua di masa tua”, nggak lagi sepenuhnya berlaku lagi. Hah kenapa gitu?

Karena di negara kaya, umumnya fasilitas 🏙️, bantuan sosial 👨‍🦽, dan sistem keuangan 💱 negara udah maju. Jadi ketika pensiun, orang-orang tua jadi bisa hidup lebih mandiri lewat fasilitas yang tercukupi dari dana investasi (e.g dana pensiun, saham, emas, dll). Nggak lagi minta ke anak.

Daaan itu lah kenapa kemajuan ekonomi, bisa membuat populasi negara pun akhirnya terjun bebas. 📉

Tapi di luar dari itu, ada faktor-faktor lainnya, kayak:

  • 📚 Perempuan yang lebih terdidik: Perempuan yang sekolah, jadi bisa punya kesempatan kerja, terus dapet penghasilan sendiri, dan akhirnya bisa menikah dan punya anak tanpa terburu-buru; yang akhirnya bikin fokus sama kualitas, dibandingkan jumlah anak. Anak dari para ‘perempuan yang terdidik’ ini pun akan mengikuti pola yang sama, bikin efek “semakin terdidiknya perempuan di suatu negara, maka semakin terkontrolnya populasi negara tersebut.”
  • 💊 Alat kontrasepsi dan keluarga berencana: meskipun menuai perdebatan, tapi banyak negara di dunia faktanya berhasil menekan pertumbuhan populasinya berkat alat kontrasepsi, atau pendidikan buat merencanakan keluarga. Dengan kedua hal tersebut, intinya punya anak menjadi pilihan, bukan sesuatu yang nggak diduga, kayak jaman dulu.
  • 👶 Budaya child free: child free adalah konsep berpasangan/menikah tapi tak ingin punya anak. Bahkan di satu survei bilang, sekitar 74% Gen-Z di AS setuju untuk bisa punya ‘kebebasan’ nggak punya anak. Nggak lagi kayak jaman dulu yang merupakan ‘keharusan’. Alasannya pun beragam. Mulai dari bisa menghemat tenaga dan uang (e.g di masa tua jadi bisa keliling dunia, daripada punya anak yang mahal) sampe nggak pengen punya anak yang nantinya tinggal di dunia yang makin hancur/rusak.

Jadi gimana? 😬 Kita tinggal di masa yang luar biasa. Mungkin kalo kakek-nenek kita baca hal-hal di atas bakal terheran-heran atau bahkan marah.

Karena begitu bedanya kondisi dunia mereka, sama kita sekarang.

Tapi terus, apakah menurunnya populasi dunia itu hal yang sebenernya baik atau buruk? Bukannya dengan orang yang makin dikit, orang jadi nggak berebut pekerjaan, makanan, dan jalanan jadi enak nggak macet lagi?

Apakah underpopulation lebih baik daripada overpopulation? 👀

Underpopulation vs Overpopulation

Dengan banyaknya ramalan kiamat kalo dunia ‘kepenuhan’, mungkin bikin kita mikir dunia dengan jumlah manusia lebih dikit itu lebih baik. Tapi untuk tahu jawabannya, ayo kita lihat grafik ini lagi:

Masih inget?

Fase kelima adalah fase paling mengerikan. Karena kita belum punya bayangan jelas, dunia yang underpopulation itu seperti apa.

Tapi yang jelas, selama ini, negara-negara di dunia selalu butuh populasinya buat bertumbuh. Kenapa? Karena dua hal:

  1. 👷‍♀️ Butuh tenaga kerja (muda) untuk bekerja. Entah itu ngurusin pertanian, pengelolaan sampah, sampe akuntansi perusahaan; semuanya butuh orang. Apalagi kalo ekonomi sang negara lagi terus bertumbuh juga.
  2. 💰 Butuh ada orang dan perusahaan untuk dikenain pajak (tax base). Semakin banyaknya penduduk yang bisa kerja — semakin berputarnya roda perekonomian — maka semakin sehat juga sang negara tersebut. Kenapa? Karena sang negara bisa mungut pajak lebih besar, dari roda perekonomian yang lebih besar tersebut. Akibatnya, negara jadi lebih ‘kuat’ karena anggarannya jadi lebih besar dan terus bertumbuh.

Bayangin, selama ini banyak negara di dunia ya berjalan normal-normal aja. Populasinya bertumbuh, dan ekonominya juga bertumbuh.

Tapi dengan penurunan populasi, maka lama kelamaan (kalo dibiarkan) isi negara tersebut cuma akan ada orang-orang tua.

Ini akan jadi masalah yang besaaaaaar banget 🤯 karena orang-orang tua ini bakal butuh anak muda produktif, buat ‘ngerawat’ mereka.

Nggak mungkin dong, mau itu rumah sakit, kepolisian, pabrik, dll dijalanin sama orang umur 70 tahun; melayani juga orang umur 70 tahun. 😢 Intinya, butuh anak muda produktif, buat jalanin itu semua.

Permasalahan ini, mengerikannya, udah dialamin sama Jepang. 🇯🇵 Di tahun 2000an, populasi Jepang stagnan. Nggak bisa naik-naik. Terus di tahun 2010an, populasi Jepang secara resmi akhirnya menurun. 😱

Selama 10 tahun terakhir, penurunan populasi Jepang terus memecahkan rekor. Sampe baru-baru ini, Jepang mencapai rekornya, populasi mereka menyusut hampir sebanyak 1 juta orang tiap tahunnya. Gila banget!

Sekarang, Jepang adalah negara dengan populasi tertua di dunia. 👴🇯🇵 Hampir 30% penduduknya, umurnya di atas 65 tahun!!

Mau tahu yang lebih mengejutkan lagi? Cina 🇨🇳, negara dengan penduduk lebih 1 miliar, bentar lagi bakal ngalamin masalah yang sama. Di tahun 2019, Cina punya 250 juta+ penduduk yang umurnya di atas 60 tahun. Hampir setara sama seluruh populasinya Indonesia! 🇮🇩 Dan masih akan terus bertambah! 😱

Di tahun 2040, diprediksi jumlah populasi tua Cina akan bertambah sampe 400 juta penduduk. 🤯🤯🤯 Jumlah fantastis tersebut akan bikin Cina akan bernasib sama kayak Jepang hari ini, di mana hampir 30% penduduknya adalah orang tua.

Bagaimana dengan Indonesia? 🇮🇩 Menurut data World Bank, tahun 1960an populasi tua kita (di atas umur 65 tahun) cuma 2%an, sekarang udah bertumbuh ke 7%.

Trennya terus meningkat, tapi nggak separah Cina dan Jepang. Dan untungnya Indonesia masih di bawah rata-rata dunia, yakni 10%.

Tapi terus makanya di Jepang, mulai dibikin lah solusi-solusi gila. Kayak bikin robot yang bisa ngasuh orang-orang tua, sampe mulai ngebuka imigrasi buat orang-orang jadi warga Jepang.

Robot ‘Hug’ — ngebantu orang tua buat berdiri dari posisi duduk.

Oke, tapi apakah masalah ini semua masih lebih baik, kalo dibandingin dunia yang penuh dan sesak (overpopulation)?

Bener, bisa jadi. 😅 Bayangin overpopulation tuh bisa bikin krisis makanan 🌽, air bersih 💧, lapangan pekerjaan 💼, energi 🔌, kemacetan 🚗, layanan kesehatan 🏥, dll. Belom lagi masalah lingkungan 🌳 dan juga pandemi 🦠.

Tapi menariknya, di dunia yang populasinya makin menurun kayak sekarang, bisa jadi overpopulation tetep bisa terjadi. Loh gimana caranya? 😮

Yakni overpopulation di kota-kota besar. Karena PBB 🇺🇳 memprediksikan, di tahun 2050, hampir 70% warga dunia tuh akan tinggal di perkotaan (urban).

Salah satu masalah yang akan dihadapin adalah krisis tempat tinggal. 🏘️ Lahan kota terbatas, tapi orang masih berbondong-bondong pindah ke kota.

Akibatnya harga tempat tinggal (rumah/apartemen) jadi mahal nggak karuan. 💰 Dan ini mulai dialamin di semua kota besar dunia, termasuk mungkin udah juga di kota-kota Indonesia.

Contohnya, walikota Berlin 🇩🇪 pernah bilang sebagian warganya sekarang terpaksa terusir dari Berlin karena nggak kuat bayar sewa tempat tinggal. Dia pun juga bilang hal ini nggak cuma terjadi di Berlin:

“That’s the case in London, in Paris, in Rome, and now unfortunately increasingly in Berlin.”

  • Michael Mueller, Walikota Berlin (2014-2021)

Bahkan di Korea Selatan 🇰🇷, partai dari presiden Moon Jae-in kalah telak di pemilu, karena dianggap gagal menangani harga tempat tinggal di Seoul yang naiknya gila-gilaan (harganya naik 90% dari tahun 2017).

Pada tahun 2021 kemaren di Cina 🇨🇳, presiden Xi Jinping pun akhirnya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang bikin harga tempat tinggal jadi terkendali.

Contohnya, di Shenzhen, salah satu kota terbesar di Cina, harga tempat tinggal itu udah 43 kali lipat dari rata-rata gaji tahunan warga di sana. 😮

Tapi meskipun begitu, terlepas dari perdebatan lebih mending over atau under population; apa yang sedang negara-negara lakukan? Apakah ada solusi-solusi yang lagi dilakukan, biar populasi dunia kembali menanjak lagi?

Solusi penurunan populasi dunia

Dunia membutuhkan para pasangan di seluruh dunia setidaknya rata-rata punya 2,1 anak 👶 untuk setidaknya menjaga ‘keseimbangan’ populasi dunia. Saat ini dunia masih ada di angka rata-rata 2,4. Bagus dong?!

Tapiii pada tahun 2060, PBB 🇺🇳 memprediksikan rata-rata dunia angknya akan jatuh di bawah 2,1. Dan di tahun 2100, rata-ratanya jatoh lebih dalam lagi, ke 1,9. 😮

Tentunya, sesuai grafik yang kita bahas sebelumnya, negara-negara maju lah yang sekarang lagi ngalamin dampaknya duluan. Mari kita lihat data tingkat kelahiran di beberapa negara.

Apakah mereka di bawah atau di atas 2,1?

  • 🇫🇷 Perancis - 1,9
  • 🇸🇪 Swedia - 1,8
  • 🇺🇸 Amerika Serikat - 1,7
  • 🇨🇦 Kanada - 1,5
  • 🇯🇵 Jepang - 1,3
  • 🇪🇸 Spanyol - 1,2
  • 🇸🇬 Singapura - 1,1
  • 🇭🇰 Hong Kong - 1,0
  • 🇰🇷 Korea Selatan - 0,9 🤯🤯🤯

Ini tuh sangat berbanding terbalik sama negara-negara yang lagi berkembang. Yang kebetulan banyaknya ada di Afrika:

  • 🇳🇪 Niger - 6,8
  • 🇸🇴 Somalia - 6,0
  • 🇨🇩 Congo - 5,8
  • 🇹🇩 Chad - 5,6
  • 🇦🇴 Angola - 5,4
  • 🇧🇮 Burundi - 5,3
  • 🇬🇲 Gambia - 5,2

Sedangkan ada juga negara-negara yang ditengah-tengah kayak 🇪🇨 Ekuador (2,4), 🇮🇩 Indonesia (2,3) dan 🇮🇳 India (2,2).

Nah terus apa solusinya? Biar tingkat kelahiran dunia nggak jatoh di bawah 2,1?! 😢

Solusinya, terutama bagi negara-negara yang punya tingkat kelahiran di bawah 2,1 yakni lagi pada ngejalanin sebuah solusi bernama… Kampanye punya anak. 👶

Apa kata nenek moyang kita? Ketika tahu di hari ini, punya anak aja sampe harus disuruh…

Bentuk kampanye punya anak ini pun bermacam-macam dan mendapatkan reaksi macam-macam juga dari warganya. 😂

Contohnya di Italia 🇮🇹, tiap tanggal 22 September itu diperingati sebagai ‘fertility day’. Biasanya pemerintah ngeluncurin poster-poster ajakan untuk punya anak, dengan kata-kata kayak “Beauty knows no age… Fertility does.

Tapiii gara-gara kesannya menakut-nakuti dan menghakimi, kampanye pemerintah Italia ini sukses mendapatkan banyak kritikan dari warganya (dan akhirnya dihentikan). 😅

Nggak cuma di Italia, tapi di Denmark 🇩🇰, juga ada kampanye sejenis yang pake kata-kata kayak, “Do it for mom” atau “Count their eggs.”

Tapi karena pengemasannya kreatif dan lucu, kampanye ini bisa dibilang lumayan sukses. Nggak kayak di Italia.

Tapi terus negara dengan tingkat kelahiran terendah, Korea Selatan 🇰🇷 nggak mau kalah. Mereka juga punya kampanye kreatif bernama “One is not enough.

Bahkan di tahun 2010, menteri kesehatan Korea Selatan nerapin kebijakan matiin lampu kantor di jam 4 sore 😂 biar bikin pegawainya cepetan pulang dan punya waktu bikin anak.

Poster kampanye punya anak, “One is not enough.”

Di Turki 🇹🇷, sekalipun tingkat kelahirannya ada di angka seimbang (2,1) tapi pemerintahnya pun bikin kampanye punya anak juga. Contohnya, perempuan yang punya anak bakal dikasih emas sama negara.

Presiden Turki, Erdoğan, pernah bilang ke warganya gini, “One (child) means loneliness, two means rivalry, three means balance and four means abundance.

Bahkan dia sampe bikin pernyataan kontroversial kayak “(women) should not focus on any career other than the career of motherhood.” 😅

Di Taiwan 🇹🇼 tingginya tingkat penduduk belom nikah, sampe disebut sebagai ‘ancaman nasional’. Dan pemerintah secara aktif kampanye dan nyari solusi-solusi kreatifnya.

Terus ada di salah satu kota Rusia 🇷🇺 (Ulyanovsk, namanya) bahkan ada hari libur yang sengaja dibikin buat bikin anak.

Pasangan yang melahirkan sembilan bulan kemudian, dikasih hadiah macem-macem; mulai dari mobil, TV, kulkas, sampe mesin cuci. 😆

Daaaan yang paling gila di Singapura 🇸🇬 ada program di mana seseorang dibantu untuk nemuin jodohnya, dapet subsidi beli rumah, keringanan pajak, sampe subsidi kesehatan dan pendidikan buat sang anak dan keluarga.

Kalo ditotal, pemerintah Singapura bisa ngasih bantuan senilai 1,6 miliar rupiah buat sang anak sampe umurnya mencapai 13 tahun.

Oke, apakah kemudian program-program kampanye dan ‘subsidi anak’ ini berhasil? Sayangnya, bisa dibilang belum.

Karena buktinya, belum ada satu pun negara di dunia yang bisa konsisten berhasil bikin tingkat kelahiran (yang tadinya rendah) jadi naik lagi. Ini mengejutkan banget. 😮 Berarti sesusah itu ya?

Karena emang bisa dibilang, penyebab ‘orang nggak punya anak’ itu lebih kompleks daripada yang kita kira.

Contohnya, di Cina 🇨🇳, seorang ekonom dikritik habis-habisan di publik.

Karena dia menyarankan ide ke pemerintah Cina untuk menggelontorkan duit subsidi 300 miliar US dollar, ke warga Cina yang pengen punya anak.

Loh loh, bukannya idenya bagus? Kenapa malah dikritik habis-habisan? 🤔

Karena ternyata, para anak muda pun bilang alasan nggak punya anak nggak bisa selesai cuma lewat ‘dikasih duit’ sekali terus selesai. Intinya nggak ‘sesimpel’ yang si ekonom pikirkan.

Biar kebayang, ayo kita lihat kisah perjuangan hidup seorang anak muda asal Cina 👧🇨🇳, bernama Menglin. Dan kenapa sampe sekarang, dia memutuskan belom punya anak. Kalian bisa nilai sendiri ya. 🤔

Oke, jadiii karena pekerjaan, Menglin tuh tinggal di Beijing, ibukota Cina.

Tapi sekalipun udah terbilang punya kerjaan bagus dan gaji yang lumayan tinggi, Menglin dan pacarnya tetep nggak mampu beli apartemen di Beijing.

Loh kenapa? Karena ternyata apartemen seukuran mungil aja dijual hampir 9 miliar rupiah di Beijing. 😮

Semangat ya, Menglin! 💪🏼

Di luar dari kepusingan kerjaan dan memenuhi kebutuhan harian — ketika Menglin ngitung-ngitung dan merencanakan masa depan — dia pun ngeri setelah tahu harga sekolah anak sekarang tuh udah tinggi-tinggi banget.

Misalnya, biaya masuk TK atau bayar penitipan anak aja harganya rata-rata sekitar 10,000 RMB (alias 20 jutaan rupiah) perbulan. Apakah itu mahal? Iya, banget. Karena angka segitu tuh setara sama gaji rata-rata orang Cina sebulan. 😢

Dia pun makin pusing, ketika melihat anak-anak sekarang makin ke sini makin hidup di dunia yang bersaingnya ketat banget dan penuh tuntutan.

Banyak anak udah masuk TK umur 2-3 tahun. Terus ditambah buat belajar piano dan bahasa Inggris dari umur 5 tahun. Dan ini semua pun masih jauuuuh banget. Karena belom mikirin biaya sang anak sampe kuliah.

Kenapa maksa banget sih? Karena udah tuntutan jaman. Apalagi di negara super bersaing kayak Cina. Ini semua demi sang anak dapet pendidikan terbaik, dan mampu bertahan hidup di dunia masa depan.

Menglin pun tambah pusing lagi, ketika sadar dia harus bantu orang tuanya; secara waktu, tenaga dan keuangan.

Dan ditambah lagi, di Cina, kebanyakan orang di sana tuh anak tunggal. Nggak punya kakak atau adik. Termasuk Menglin. Jadi dia nggak bisa bagi-bagi beban buat ‘menanggung’ orang tua.

Di luar dari itu semua, dia pun harus tetep bisa fokus sama kerjaan — dan nggak kebayaaang banget rasanya untuk ngelakuin hal itu semua — apalagi kalo ditambah beban keuangan, waktu, tenaga dan pikirannya kalo punya anak. 👶

Atau, Menglin bisa memilih kayak kebanyakan temen-temennya. Menunda untuk punya anak. Atau milih untuk nggak punya sama sekali. 👀

Oke, kesimpulannya ternyata, biaya ‘subsidi anak’ yang dijanjikan sama pemerintah-pemerintah banyak negara itu (sekalipun nilai ‘total’-nya besar) — mau dari Singapura 🇸🇬 sampe Cina 🇨🇳 — setelah dihitung-hitung, nilainya kebanyakan masih belum ‘menarik’ untuk bikin anak-anak muda punya anak.

Dan yang seperti kita tahu lewat cerita Menglin, beratnya nggak cuma di uang, tapi juga di hal lain-lain.

Dan mungkin, ini lah fakta pahit, kondisi kehidupan ketika kita hidup di dunia ‘modern’.

Meskipun kita bisa ngatain Menglin, “ahh baru gitu doang” atau “jaman dulu tuh lebih susah, manja banget sih!”; tapi fakta bahwa banyak anak muda di Cina 🇨🇳 (dan dunia 🌍) sampe memilih nggak punya anak (sekalipun pengen) karena faktor-faktor di atas, memberikan sinyal bahwa masalah ini emang beneran ‘berat’.

Bukan cuma dibikin-bikin doang sama satu generasi anak muda di satu negara. 🙁

Salah satu sinyalnya lagi, banyak anak muda di Cina bahkan lebih milih punya binatang peliharaan, dibanding punya anak. Binatang-binatang peliharaan ini 🐈🐕 udah seringkali dianggep sebagai ‘anak’ sendiri.

Industri binatang peliharan Cina meledak 4x lipat dalam beberapa tahun terakhir.

Sedihnya, ini ibarat ‘obat’ sekaligus cerminan, bagaimana anak-anak muda di Cina nggak mampu secara keuangan, waktu dan tenaga, untuk punya anak beneran.

Selain itu, ada faktor budaya juga, yang bisa makin menghambat punya anak. Contohnya, di  Korea Selatan 🇰🇷 sekalipun pendidikan perempuan udah tinggi-tinggi; tapi perempuan masih dilihat perannya yang harus tetep ngurus ‘rumah tangga’.

Alias, kalo punya anak, perempuan lah yang wajib ngurus anak, masak, beres-beres rumah, dll. 🤰

Mungkin bisa dibilang ya nggak salah juga budaya tersebut. Tapi ini artinya para perempuan, harus berkorban, untuk ‘memilih’ karir atau punya anak.

Karena banyak negara di dunia belom punya kebijakan yang ramah untuk cuti hamil, melahirkan, mengasuh, dll. Jadi kadang terpaksa harus milih salah satu.

Dan bagi kalian yang laki-laki, percaya lah mungkin ini bukan pilihan yang ‘gampang’. Karena kadang ini keputusan seumur hidup bagi sang perempuan. 😬

Sedangkan di Italia 🇮🇹, seorang penulis bernama Simonetta Sciandivasci, menceritakan bagaimana dia, dan perempuan-perempuan lain di Italia, berhak mendefinisikan kebahagiaannya masing-masing.

Termasuk memilih buat nggak punya anak. Sekalipun seringkali punya anggapan jelek dari orang-orang.

Tapi dari semua cerita di atas, tetep kok ada secercah harapan.

Ada negara kayak Swedia 🇸🇪 yang nggak kayak negara lain. Selain ngasih ‘subsidi’ uang, pemerintahan Swedia pun juga ngasih bantuan penitipan anak murah dan cuti buat sang ayah dan ibu sampe 1 tahun lebih!

Negara lain kayak Perancis 🇫🇷 juga berhasil bikin subsidi bagus serupa.

Tapi sekalipun Swedia 🇸🇪 dan Perancis 🇫🇷 udah bagus, ‘kemenangan’ ini bersifat sementara. Karena tingkat kelahiran pun kembali menurun.

Israel 🇮🇱 pun, negara yang awalnya dikira bisa jadi pengecualian, akhirnya mengalami penurunan tingkat kelahiran juga.

Dan kalo ngeliat tren-tren yang udah kita bahas sebelumnya, rasanya negara-negara berkembang sekarang pun suatu hari akan mengalami perlambatan dan akhirnya ikut menurun juga tingkat kelahirannya. 📉

Masalah besar, membutuhkan solusi yang besar juga

Kayak Jepang 🇯🇵 bisa aja kita ‘menyerah’ dan bilang “udah lah, daripada ngelahirin lebih banyak manusia, mending ngelahirin robot aja.”

Tapi solusi lain untuk menyelesaikan permasalahan populasi ini bisa jadi pake ide yang gila di masa depan: teknologi anti-tua. 👴👦

Dalam puluhan atau ratusan tahun ke depan, bisa aja teknologi kesehatan bikin manusia berumur tua jadi lebih ‘sehat’.

Sekalipun misalnya seseorang umurnya udah 80, tapi fisiknya dirawat biar masih kayak umur 30an misalnya. 😮

Para pakar di bidang teknologi anti penuaan pun bertaruh, “manusia yang akan hidup sampai 150 tahun, udah lahir sekarang.” 😮

Bayangin kalo manusia udah bisa hidup sampe 100-200 tahun. Atau bahkan bisa lebih lama lagi. 👀

Cinta tak mengenal umur ❤️

Dengan begitu, sudut pandang kita terhadap permasalahan penurunan populasi ini akan bener-bener berubah. Karena mungkin daripada susah-susah kita nyoba ningkatin angka kelahiran 👶 kenapa kita nggak nyoba nurunin angka kematian? 🧓

Mungkin di masa depan, ketika manusia udah pada hidup 1000 tahun; mungkin nanti kita akan nyari cara gimana caranya membatasi umur seseorang, atau membatasi bayi lahir juga. Duh, tapi lama-lama bikin pusing nggak sih? 😖

Oke, tapi terus mungkin ada lagi solusi gila lain untuk bikin populasi dunia naik lagi: bikin koloni manusia di planet lain. 🪐

Bayangin suatu hari, pertumbuhan ekonomi kita nggak cuma terbatas di bumi aja. Tapi udah sampe bulan dan planet-planet lain.

Di masa depan ini, manusia nggak akan lagi nambang isi perut bumi, tapi udah nambang mineral dari asteroid. ⛏️🪨

Kalo dari masyarakat 🌽 bertani ke masyarakat 🏭 industri bikin populasi meledak; apakah revolusi peradaban dari masyarakat 🏭 industri ke masyarakat 👩‍🚀 koloni luar angkasa, juga akan membuat ledakan populasi lagi?

Elon Musk, yang punya rencana gila untuk bikin koloni di Mars pun juga bilang, bahwa salah satu ancaman terbesar umat manusia (selain kecerdasan buatan) adalah penurunan populasi.

Ini tuh mirip sama politik negara Jerman 🇩🇪 jaman dulu, yang pernah punya konsep bernama ‘lebensraum’.

Yang artinya adalah untuk negara Jerman dan warga negaranya bisa tumbuh berkembang, mereka butuh ‘ruang hidup’ lebih luas. Nggak cukup dengan wilayahnya yang dimilikin saat itu aja.

Artinya, ‘ruang hidup’ yang lebih luas — kayak planet lain — bisa jadi pemicu pertumbuhan populasi lagi. Ibarat orang-orang Eropa yang yang dulu menjajah benua Amerika, melahirkan negara-negara Amerika dengan ratusan juta populasi yang ada sekarang. 🌎

Kesimpulan

Dan sampai di sini lah kita, umat manusia, dengan jumlah 8 miliar saat ini.

Lewat pembahasan kali ini, mungkin kalian malah tambah bingung, apakah tren penurunan populasi ini baik 👍 atau buruk 👎? Apakah kita harus nyari solusi, atau justru biarin aja? Atau bakal kayak apa dampaknya, ketika dunia punya lebih sedikit penghuni dibanding hari ini? 👨‍👩‍👧‍👦

Tapi coba bayangin. Jumlah manusia dulu diperkirakan cuma ada 5 ribu sampe 10 ribu di seluruh dunia. Bahkan diperkirakan umat manusia hampir punah, karena gunung supervulcano Toba (yang sekarang jadi danau Toba di Sumatera Utara) meletus, sekitar 70 ribu tahun lalu. 🌋

Lalu setelah itu, di sebagian besar sejarah, jumlah manusia pun jarang dicatat. Mungkin pernah ada masa di mana kekaisaran Cina atau Majapahit, tak pernah tahu berapa jumlah penduduknya sendiri.

Tapi bukan berarti ‘orang-orang yang tak tercatat’ ini tak pernah hidup. Mereka punya nama, punya mimpi dan ketakutan. Punya hari baik dan buruk juga.

Meskipun tanpa jejak, mereka menjalani hidup senyata, seperti hidup kita sekarang.

Lalu pencatatan penduduk pertama yang kita ketahui (atau sering disebut ‘sensus’) dilakukan oleh bangsa Babylonia sekitar 6000 tahun lalu.

Bukti sejarah bilang bahwa pencatatan ini dilakukan tiap 6-7 tahun sekali. Selain jumlah orang — jumlah hewan ternak 🐄, stok mentega 🧈, madu 🍯, susu 🥛, wol 🐑 dan sayur-sayuran lainnya pun 🥬 — juga ikut dicatat.

Setelah itu, banyak peradaban lainnya mulai melakukan pencatatan penduduk. Mulai dari peradaban Mesir kuno sampe kekaisaran Cina.

Dari pencatatan jumlah tenaga kerja sampe catatan perdagangan. Kata ‘sensus’ pun mulai diperkenalkan oleh bangsa Romawi. Berasal dari kata ‘censere’ yang berarti memperkirakan.

Lewat sensus-sensus ini, dunia kita pun perlahan berubah menjadi data dan statistik. 📊

Dunia modern membawa cara pencatatan yang lebih cepat dan akurat. Sensus bergaya modern (dan rutin) ini mulai diterapkan di kota Quebec, Kanada 🇨🇦 di tahun 1600an.

Butuh 200 tahun kemudian (tahun 1804), sampe populasi manusia tercatat mencapai 1 miliar. 👨‍👩‍👧‍👦 Pencapaian tak terbayangkan mungkin bagi nenek moyang kita.

Dan cuma butuh 100 tahun lebih dikit (tahun 1960an), untuk jumlah manusia mencapai 3 miliar.

Lalu dari titik ini, jumlah manusia bertambah 1 miliar, hanya tiap 13 tahun sekali. Di tahun 2011, kita mencapai angka 7 miliar. Dan akhirnya 8 miliar, di akhir tahun 2022.

Mengingat semua pembahasan kita di atas…

Apakah jumlah manusia akan mencapai puncaknya sebentar lagi?

Dalam videonya, Kurzgesagt pernah bilang bahwa rata-rata spesies mamalia 🦣 hanya bertahan dalam waktu 1 juta tahun.

Sedangkan kita, spesies manusia (Homo Sapien), sejauh ini udah berhasil bertahan selama 200 ribu tahun. Dan jumlah kita 8 miliar sekarang.

Apakah artinya, kita masih punya 800 ribu tahun untuk bertumbuh? Atau kita bisa terus bertumbuh, selama planet bumi belum dilahap matahari, yakni artinya masih ada waktu 600-800 juta tahun lagi?

Kalo kita berpikir lebih besar lagi — kayak yang kita udah bahas sebelumnya — ada 8 planet dan 200an bulan di tata surya kita, yang mungkin siap untuk dihuni dengan teknologi masa depan. 🪐

Dan di galaksi kita, galaksi Bima Sakti (Milky Way), ada 100 miliar planet, yang mungkin juga siap dihuni dalam jutaan waktu mendatang. Berapa banyak manusia yang akan terlahir di masa depan? 🌌

🔭🔭🔭

Buat perbandingan, bayangin 8 miliar manusia yang hidup sekarang adalah 7%, dari 117 miliar total manusia yang pernah hidup dalam sejarah.

Kalo manusia nggak punah karena perang atau pandemi mematikan, diperkirakan akan ada 1,2 kuadriliun (1.200.000.000.000.000) manusia akan pernah hidup di bumi dalam jutaan waktu mendatang. 🌍

Atau 10 sextiliun manusia (10.000.000.000.000.000.000.000) akan hidup kalo kita berhasil bikin koloni-koloni di tata surya. Atau 1 tredisiliun manusia (1.000.000.000.000.000.000.000.000. 000.000.000.000.000.000) kalo kita berhasil menjajah galaksi kita.

Dengan jumlah sebanyak itu, kayaknya udah nggak masuk akal populasi manusia akan dilahirkan dari rahim seorang ibu. 🤰 Mungkin manusia udah bisa diciptakan secara masal lewat tabung-tabung kelahiran. 😮

Mungkin udah akan ada juga ‘spesies’ robot buatan manusia, yang udah punya hak, kebangsaan, pemikiran, identitas; yang jumlahnya berkali-kali lipat dari jumlah manusia.

Tapi cukup dulu sampe di sini, sebelum kita kejauhan. 😂

Jadi, gimana menurut kalian? Apakah kesimpulannya ‘penurunan populasi’ ini adalah sesuatu yang sementara, sebelum naik lagi? 📈 Dan apakah kondisi penurunan populasi ini baik untuk dunia? 🌍

Bahas pandangan kalian di forum diskusi sains di Discord Kok Bisa ya! Ayo kita lanjut di sana 👋🧠

Tapi bagi kalian yang pengen dapetin cerita-cerita seru dan perkembangan sains serta teknologi terbaru dunia lewat email aja ✉️ jangan lupa langganan newsletter Kok Bisa ya!

References

Masih banyak pertanyaan tentang dunia?

Gapapa, asal jangan kebingungan sendirian 👀 Makanya yuk gabung bareng 1.000+ orang lainnya yang udah langganan, untuk terus dapet update cerita sains dan teknologi terbaru dari Kok Bisa. Jangan sampe ketinggalan!